Jumat, 18 Februari 2011

2nd Short Story


Aku membayar obat itu dengan segera, sesegera aku mengambil bungukusan itu dari pelayan yang masih mengucapkan terimaksih dan tersenyum ramah saat aku meninggalkanya di belakang pintu yang ku tutup dengan keras itu. Hanya senyum basa-basi, tidak tulus, PENIPUAN pada pelanggan, gerutuku. Aku berjalan dengan sangat cepat, melewati jalan yang licin itu setelah diguyur hujan seharian ini, hal yang sangat lumrah terjadi di pedesaan.
Setengah jam kemudian aku sampai di rumahku yang kutempuh dengan berjalan kaki seperti biasa, karena memang jika sudah malam seperti ini tidak ada angkutan umum ataupun tukang ojek yang bisa mengantarkanku menuju gubuk kecilku. Dari luar gubuk kecil itu terlihat begitu suram, seolah tidak ada manusia yang menempatinya. Aku buka perlahan pintu yang sudah agak lapuk kayunya itu, aku melangkah dengan perlahan pula, tak ingin membangunkan ibuku yang mungkin sudah terlelap tidur. Aku masuk ke kamarnya yang memang tak pernah terkunci, kuletakan bungkusan obat di meja samping tempat tidurnya. Kuperiksa lacinya, kubuka lemarinya, ku lihat kolong tempat tidurnya, mencari sesuatu yang sangat ku benci. Betapa Leganya aku tak mendapati benda terkutuk itu di semua sudut kamar ibuku.
Akupun keluar dan memasuki kamarku sendiri, sama seperti kamar ibuku, kamarkupun tak ku kunci, agar aku bisa secepat mungkin mendatangi ibuku apabila terjadi hal-hal buruk menimpanya. Aku berharap hal itu tidak akan pernah terjadi, tidak akan pernah.
Namun dua jam kemudian aku terbangun dengan keringat membanjiri seluruh tubuhku, ibuku terbatuk dengan keras dan sangat nyaring. Ia memanggil namaku berkali-kali dengan suara yang tercekat. Aku berlari ke kamar ibuku. Aku hanya bisa terdiam mematung di depan pintu menyaksikan apa yang sedang terjadi. Ibuku menggelepar di lantai di samping tempat tidurnya, memegangi dadanya dan saputangan yang penuh darah, sementara itu di lantai terlihat cairan merah kehitaman yang membuatku begitu tercekat, ibuku terbatuk tak henti-hentinya, disela batuknya itu ia masih sempat memanggilku dengan lirih, dengan segenap suaranya yang tersisa. Panggilannyalah yang seolah mengembalikan kekuatan kakiku untuk berjalan menghamipirinya, kupeluk tubuh rentanya, kugenggam tangannya yang rapuh. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan, aku hanya menangis dan menatap dalam matanya yang terlihat masih bersinar di keremangan kamar dan seolah ada banyak hal di dalamnya yang tak ku ketahui. Ia berbisik lirih, lirih sekali hingga aku tak bisa mendengarnya. Aku hanya menerka apa yang ingin diucapkan ibuku lewat gerakan bibirnya yang lambat-lambat itu serta dari tatapan matanya. Aku tahu ia hanya ingin mengucapkan “Aku menyayangimu”. Kemudian ia terbatuk hebat lagi hingga tubuhnya terguncang. “Ibu, aku akan segera telepon pak dokter, ia akan segera datang...” Aku masih belum menyelesaikan ucapanku ketika disela batuknya ibu dengan keras menggelengkan kepalanya, ia memeluku dan kemudian menyemburkan darah kehitaman itu ke seluruh bajuku. Aku mengguncang tubuh ibuku dengan keras, dengan harapan ia membuka matanya, tapi ternyata semua sia-sia. Ibuku tetap diam, tetap beku, tidak mengindahkan panggilannku yang kian melengking.
Aku benar-benar tidak percaya apa yang terjadi di hadapanku saat ini. Aku tidak percaya Ibu yang begitu ku cintai, yang begitu berarti dalam hidupku meninggalkanku dengan cara seperti ini. Aku terus memeluk tubuh yang semakin dingin itu dan terus menangis melengking. Kudengar ribut-ribut di luar, tetanggaku mendengar tangisanku mungkin, pikirku. Tapi aku tidak beranjak dari tempatku bersimpuh, betapapun kian kerasnya suara ketukan di pintu itu. Aku tidak akan meninggalkan Ibuku, tidak. Aku akan tetap disini, aku akan tetap memeluk ibuku.
Tiba-tiba terdengar suara keras di pintu dan orang-orang berhamburan ke arahku. Beberapa perempuan menjerit melihat darah kehitaman yang berceceran di lantai, kemudian mereka menyuruhku untuk bangun, tapi aku menolak. Aku bersikukuh tetap begini, tetap bersimpuh dengan ibuku di pelukanku. Aku berontak saat mereka menarikku dengan paksa dan membawa ibuku ke ruang tamu. Mereka membaringkannya di sana.
Aku tidak ingat dengan jelas apa yang kemudian terjadi, bagaimana kejadian-kejadian selanjutnya. Aku hanya ingat ada banyak orang dengan baju serba hitam mengelilingi satu pusara, tanahnya masih basah dan merah yang di dalamnya bersemayam orang yang paling aku cintai. Aku tidak tahu siapa saja yang datang, semuanya terlihat kabur, bahkan kakakku pun aku tak bisa mengenalinya. Hanya satu orang yang terlihat jelas, seorang lelaki di ujung sana dengan mata bulat, wajah tirus dan uban mencuat di bawah peci hitamnya yang tak pernah melepaskan pandangannya dariku. Aku balas memandangnya dengan sinar kebencian yang begitu hebatnya. Orang itu yang membuat semua ini terjadi, yang sudah menghancurkan hidupku & ibuku, yang melemparkan kami ke tempat ini, yang telah membuat hidup kami berubah 180°, yang membuat kami harus bekerja keras menjalani hidup kami, yang membuat Ibuku tenggelam dalam kesedihan sekian tahun lamanya, yang membuat penyakit itu menggerogoti ibuku dan membuatnya harus terseok-seok menjalani sisa hidupnya.
Aku ingat bagaimana hancurnya Ibuku beberapa tahun ini. Aku ingat bagaimana ia begitu tersiksa, begitu menderita dan begitu terbuang karena penghianatan yang dilakukan lelaki busuk yang seharusnya ku panggil “AYAH” itu. Pikiranku melayang, kembali ke beberapa bulan yang lalu, dimana ahirnya ibu mencurahkan keluh kesahnya.
Seperti biasa sepulang dari rumah murid bimbingan belajarku aku mampir ke Apotek membeli obat untuk ibuku yang menurut dokter daerah setempat hanya terserang gangguan pernafasan tanpa penjelasan lebih lanjut, padahal aku yakin ia terserang Lungs Cancer. Hujan turun dengan derasnya malam itu di iringi suara petir yang terus menggelegar. Setelah sekian lama berjalan di bawah hujan yang begitu deras aku sampai di rumah, seperti biasa pula dengan perlahan sekali aku memasuki rumah itu karena aku tak mau mengganggu Ibu dengan suara derit pintu tua itu, tapi suara batuk yang begitu nyaring dan terdengar begitu menyiksa membuatku berlari dengan segera ke kamar yang terletak agak jauh di belakang. Betapa kagetnya aku saat mendapati ibuku sedang terbatuk-batuk hebat dengan wajah yang sangat pucat dan satu tangannnya menekan dadanya seolah menekan rasa sakit yang menyerang sementara tangan yang satunya dengan erat memegang sebatang rokok yang entah dari mana ia mendapatkannya.
Iba aku melihat  raut wajah ibuku yang demikian kesakitannya, tapi amarah dan kekesalan serta kekecewaan tak kalah kuatnya menghantam hatiku melihat sebatang rokok yang terselip di jari yang sudah sangat kurus itu. Setengah berteriak aku memuntahkan semua perasaan yang selama ini kusembunyikan di dasar hatiku. “Ibu....!! Apa yang Ibu lakukan??? Ibu meracuni diri ibu sendiri, Ibu ingin membunuh dir Ibu sendiri??? Ibu tau, hujan deras dan petir menyambar-nyambar di luar sana, tapi aku tetap pergi ke Apotek untuk membelikan Ibu obat! Aku bekerja matia-matian dengan segenap kemampuanku, dengan upah yang jauh dari yang kuharapkan tapi aku tetap bersabar dan tidak mengeluh. Aku tak peduli apa yang terjadi pada diriku, yang kupikirkan hanya ibu, aku hanya ingin ibu sembuh, aku hanya ingin ibu bisa bertahan di sisiku lebih lama lagi. Aku tak ingin mendengar suara kesakitan ibu, aku tak ingin mendengar rintihan ibu, aku ingin ibu kembali sehat seperti dulu. Aku ingin melihat mata ibu yang dulu selalu ceria, bukan mata kosong seperti yang sekarang ada di hadapanku. Ibu, aku tidak mengeluh dengan keadaan kita, aku tidak mengeluh akan apa yang menimpa ibu, menimpa kita. Aku hanya ingin ibu tahu betapa berartinya kesehatan dan kesembuhan ibu. Betapa aku akan mengorbankan dan melakukan apapun untuh hal itu. Aku hanya memohon ibu menghargai sedikit... sedikkkiittttttttt saja apa yang ku lakukan selama ini, tolong hargai semua itu dengan menjaga kesehatan ibu sendiri dan membuang benda terkutuk itu sejauh mungkin. Apa itu masih terlalu berat untuk Ibu???”
Ia hanya terdiam sambil terus memandangku, tiada kata-kata yang terucap, hanya batuk keringnya yang keras & nyaring yang mengisi ruangan itu. “Nak....” Ia memulai bicaranya, pembicaraan yang cukup panjang. Aku ingat betapa getir ekspresinya saat ia mulai menceritakan beban pikirannya, bagaimana sakitnya ia setelah mengetahui ayahku menikah dengan perempuan lain dan memilih untuk pergi bersama pelacurnya itu. Betapa ia kehilangan, betapa ia merindu dan betapa ia membenci lelaki itu. Ia seperti kehilangan setengah jiwanya setelah kepergian lelaki itu, ia merasa dirinya tak utuh lagi, ia merasa hampa. Ia hanya bisa merenung sepanjang hari sambil menunggu aku pulang. Saat-saat itulah kesepian begitu menyergapnya, yang membuatnya mengkonsumsi benda terkutuk itu, yang membuatnya terkena Lungs Cancer yang mematikan itu. Betapa hanya Rokok lah temannya satu-satunya yang membuatnya melupakan kepenatannya & penderitaannya karena si lelaki busuk bajingan itu. Ia menangis dan memeluku, sungguh baru sekali ini aku melihatnya menangis, ia adalah orang yang tegar, betapapun ia menderita tak pernah ia meneteskan air mata, bahkan saat lelaki bajingan itu pergi meninggalkannya, saat terburuk dalam hidupnya, ia tetap menahan air matanya. Tapi malam ini tangisnya pecah, tangis yang selama beberapa tahun ini ia tahan, ia pendam dalam hati. Aku balas memeluknya kemudian membaringkannya di ranjang. Malam semakin larut, aku bangkit sambil mengambil sebungkus rokok yang tergeletak di meja seraya berkata “Aku akan jauh lebih senang melihat Ibu menangis seperti ini daripada harus menahan semuanya dan berteman dengan benda mematikan ini. Aku selalu ada untuk mendengar semua keluh kesah ibu, bukan benda ini”. Semenjak saat itu aku rajin memeriksa kamar ibuku, memastikan tidak ada benda itu di kamarnya.
Sentuhan lembut di pundakku yang sudah sangat kukenal dulu - dan sangat kubenci tentunya, membangunkan aku dari lamunanku. Tepat di sampingku lelaki yang paling ku benci itu berdiri. Ia hendak berbicara ketika dengan amarah meledak-ledak aku mendorongnya hingga roboh dan tersungkur di atas makam ibuku, entah bagaimana tiba-tiba aku sudah memegang kayu nisan ibuku dan dengan sekuat tenaga menghujamkannya ke perut lelaki itu hingga darah segar meluncur ke segala arah dan merembes ke dalam tanah di mana ibuku tercinta berbaring. Aku memandang matanya yang mulai sayu kehilangan cahayanya. Ia menatapku dengan cara yang sungguh berlainan denganku. Ia tersenyum tipis, tapi aku membalasnya dengan tertawa lebar, penuh kepuasan penuh ejekan dan cemoohan. Sebungkus rokok meluncur dari kantongnya saat ia berusaha untuk bangkit, tapi hanya merupakan usaha yang sia-sia! Aku mengambilnya dengan cepat, mengeluarkan satu batang dan mulai menyulutnya dengan korek yang tadi pagi kugunakan untuk membakar semua rokok ibuku yang kusita dulu. Aku menghisap rokokku dalam-dalam tanpa mempedulikan orang-orang yang mendekat dengan tatapan mereka yang begitu tajam. Dengan satu gerakan tangan yang begitu lemah lelaki itu membuat semua orang berhenti, diam di tempat dengan pandangan bertanya.
Aku memulai narasiku..
“Ibu, lihatlah, aku mengembalikan apa yang pernah diambil darimu, aku tidak akan membiarkan Ibu kesepian lagi, lihatlah! Dia akan menemanimu menemukan Surga yang sudah menantimu. Aku membawa dia kembali, Ibu. Aku membawa dia kembali padamu!! Sambil menghisap benda terkutuk ini dulu Ibu meratapi Lelaki ini yang dengan teganya meninggalkan Ibu & menghancurkan hidup ibu. Kini, sambil menghisap benda terkutuk ini pula aku tertawa puas membawanya kembali padamu sambil tak lupa menikmati wajahnya yang pucat dan dingin mendekati wajah kematian. Terimalah kado terindahku, Bu. Lelaki jahanam ini tidak akan bisa berlari daimu dan meninggalkanmu lagi.” Tawaku melengking tinggi, dadaku terasa penuh oleh kesenangan, mataku kian berkilat melihat ia merintih kesakitan. Rintihannya yang kian menjadi adalah untaian nada yang indah, yang memanjakan telingaku bagai lagu pengantar tidur yang sudah sekian lama tak kudengar, yang teramat sangat ku rindukan....
Dengan sisa tenaga yang sangat sedikit ia memberi isyarat agar aku mendekat. Tanpa sadar aku mendekatkan telingaku ke bibir lelaki itu, lirih sekali ia berbisik “Sebenarnya Ayah ingin mengatakan ini sejak lama tapi tak pernah punya kesempatan. Ayah meninggalkan Ibumu.....bu---kan karena ada ......perem----puan lain, tapi ka-----rena Ayah.... terj-----angkit HIV, ayah..... ti--dak.....” Suaranya sangat parau dan tiba-tiba ia terkulai lemas meninggalkan aku yang masih tertegun...............

                                                                        Jakarta, 24 December 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar