Aku selalu membuka mata dengan sejuta harapan akan
datangnya si pembawa bahagia yang akan menuntunku menuju dunia indah tanpa
akhir bagaikan di dongeng. Namun, kenyataan tidak selalu sejalan dengan
harapan, bahkan dalam hidupku kenyataan merupakan momok yang menjadi musuh
utama mimpi dan harapanku. Harapanku selalu sirna tatkala berbenturan dengan
kenyataan, dan impiku selalu musnah ketika harus menemui kenyataan. Lalu,
aku bertanya pada diriku sendiri, untuk
apa kita mempunyai mimpi dan harapan kalau pada akhirnya semua itu harus kita
kubur dalam-dalam? Adilkah semua ini? Adilkah hidup yang harus aku jalani?
Namun, sebuah jawaban telak menghantam nuraniku, pantaskah aku mempertanyakan
semua ini? Semua rencana-Nya yang sempurna bagi semua umat-Nya?
Ah, aku hanya sebutir pasir yang bahkan tak kuasa
menghindar dari hantaman ombak, apalagi untuk menentukan sendiri kemana aku
akan pergi. Lalu, aku menyerah pada takdir, mencoba bersahabat dengan
kenyataan, mencoba hidup dengan apa yang ada di hadapanku. Namun, semua ini
begitu sulit, tidak semudah ketika aku memikirkannya. Perasaan bukanlah
matematika yang dapat kita pecahkan dengan menggunakan rumus. Perasaanku
terlalu peka, bahkan untuk ukuran orang sepertiku. Perasaanku adalah jantung
kehidupanku, dimana semua hal bermula dan bergantung. Aku dapat bekerja 24 jam
non-stop ketika perasaanku sedang baik, tapi jika perasaanku sedang tidak baik,
jangankan untuk bekerja, untuk memakan sesuap nasipun aku enggan. However, as people said “life must go on” I
hafta work to survive my existence (not life because it doesn’t feel as a life).
Hari tengah menjelang senja saat akhirnya aku bangun
dari tempat tidurku dan mulai mempersiapkan diri untuk memulai aktivitasku.
Betapa lucunya hidup ini, betapa beragamnya makhluk-Nya. Saat sebagian orang
bekerja, sebagian lainnya terlarut dalam buaian mimpi, saat si makhluk berjiwa
malaikat terlelap, makhluk setengah setan tengah terengah-engah menggapai
surganya. Dan akulah salah satu makhluk yang kedua itu; makhluk remang-remang
yang senantiasa bersembunyi di balik tirai kegelapan dan enggan bersinggungan
dengan cahaya.
Ponselku bordering, dan dengan segera aku
mengangkatnya. “Halo Cherry, jangan lupa ya malam ini jam sembilan di hotel
kemarin kamar no. 313.” Belum sempat aku menjawabnya, Ia sudah menutup
telponnya. Sungguh aku merasa sangat tersanjung, betapa sangat dihargainya aku
hingga diperlakukan tak ubahnya bagai budak! Ya, aku memang budak, tapi bukan
budaknya; aku budak uang, dendam dan budak sakit hati yang tak tahu kepada siapa
aku harus menuntut keadilan. Karena keputusasaanku dan ketiga hal itulah aku
menghancurkan hidupku, keluargaku dan masa depanku dengan memlilih jalan gelap
dalam mengarungi kehidupan ini.
Jam Sembilan kurang limabelas menit aku sudah berada
di kamar 313, aku mulai merapikan diri dan menyiapkan apa yang ia inginkan. Ini
merupakan pertemuan kedua kami, aku sudah cukup tahu apa yang ia inginkan dan
butuhkan.
Aku sudah terlelap cukup lama ketika akhirnya Ia
datang, kulirik jam tanganku; sudah jam satu dini hari. Empat jam lamanya Ia
membuang waktuku dengan membuatku mengunggu. Alih-alih mencacinya dengan
selusin makian yang telah siap di kepalaku, aku menyambutnya dengan senyum
palsu termanis yang ku punya dan kemudian menariknya dalam pelukku. Lagi-lagi
semua ini karena aku adalah budak yang tak kuasa untuk bertanya apalagi untuk
mengungkapkan kekesalanku.
Waktu terasa merayap begitu lambat ketika aku harus
melayani tamu-tamuku; limabelas menit terasa bagaikan limabelas jam. Sudah tiga
tahun lebih aku menggeluti profesi ini, namun tidak pernah sekalipun aku
menikmati apa yang aku lakukan. Begitu banyak pria dari berbagai macam suku,
agama & profesi dengan wajah yang beragam pula, bahkan kebanyakan dari
mereka mempunyai paras dan tubuh yang sempurna sebagai seorang pria, namun
tetap saja tak satupun yang membuatku merasakan sedikit saja sensasi “surga
dunia” itu. Aku hanya menjual tubuh, tak ada sedikitpun rasa yang terbawa. Aku
adalah aktris yang sangat berbakat, bagaimana tidak aku sangat piawai
menampilkan ekspresi kenakalan dan kepuasan palsu yang meyakinkan seluruh
tamuku bahwa aku juga menikmati setiap permainan yang kami lakukan. Tidak
jarang aku melakukan permainan bak porn
star, bahkan terkadang melebihi apa yang mereka lakukan. Tujuanku hanya
satu: memberikan service excellent
pada tamuku dan membawanya mencapai puncak fantasinya agar Ia selalu kembali
padaku dan menjadi tambang emasku serta bahan celaananku pada kaumnya; kaum
yang telah meninggalkan goresan luka sedemikian dalam dan membentukku menjadi
manusia yang membenci takdir serta kodratnya.
Berbeda 180ยบ denganya yang sudah terlelap dalam mimpi
indahnya, aku bergegas ke kamar mandi dan membersihkan diriku; membersihkan
kotoran yang kurasa tak akan pernah hilang seberapa seringpun aku mandi, seberapa
lamapun aku berendam. Baru satu menit aku merasa nyaman dengan suasana hening,
tiba-tiba jerit histeris seorang perempuan memecah kesunyian itu.
“Papiiii!! Papi bilang mau meeting sama klien,
ternyata malah main gila disini! Ngga cukup ya papi nyiksa aku? Aku rela kamu
pukulin tiap hari kayak maling, aku rela badan aku sakit tiap hari. Aku selalu
bilang sama kamu, aku terima semua sikap kasar kamu tapi tolong jangan sakitin
hati aku, cukup badan aku aja yang tiap hari kamu sakitin!”
“Mami salah paham, Mi. ini ngga kayak yang mami pikir.
Aku ngga main gila, aku emang ada meeting tadi” jawab si lelaki bejat itu
membela dirinya. Dengan suara ketus yang nyaring si perempuan menjawab.
“Meeting? Meeting sama siapa? Meeting sama pelacur?! Udah jelas-jelas kamu
disini sama perempuan lain, masih aja kamu mau ngeles!” Si lelaki masih tak mau
kalah, ia membalas dengan suara yang lebih nyaring lagi, “Jadi kamu bener-bener
nuduh aku main gila? Istri macam apa kamu? Kamu pikir aku kerja selama ini buat
siapa? Ya buat kamu, bisa-bisanya kamu nuduh aku yang engga-engga. Oooh,
sekarang kamu sudah mulai berani ya sama aku? Aku pulangin kamu ke orang tua
kamu baru kamu tau rasa. Kamu pikir kamu bisa apa tanpa aku? Aku ini sumber
kehidupan kamu, tempat kamu bergantung, kalau ngga ada aku kamu cuma akan
berakhir jadi gembel tau nggak!”
Si perempuan menjawab dengan suara yang tercekat, “Jadi
di mata kamu aku ngga lebih dari parasit? Jadi itu alasan kamu kenapa kamu
selalu nyiksa aku, kasar sama aku dan selingkuh di belakang aku? Aku kurang apa
pi sama kamu? Aku bilang kamu pengen punya istri yang selalu ada di rumah dan
ngurus anak aku nurut, aku lebih milih ninggalin karir aku demi kamu, demi
keluarga kita. Apapun permintaan dan perintah kamu selalu aku turutin, bahkan kamu
nuntut aku jadi apa aja yang kamu mau pun aku selalu siap. Aku berusaha selalu
mengabdi sama kamu, aku berusaha selalu melayani kamu dengan baik, tapi malah tega-teganya
kamu main gila!”
Terjadi begitu banyak perdebatan di antara mereka
berdua, perdebatan klasik yang sudah kudengar puluhan kali. Perdebatan yang
disebabkan oleh kehadiranku dalam rumahtangga mereka. Namun, aku tidak pernah merasa
bersalah, aku sama sekali tidak tertanggu dengan hal itu karena aku tidak
menggoda suami mereka, suami merekalah yang datang padaku, yang meminta jasaku.
Aku tetap bersembunyi di dalam kamar mandi sambil
menempelkan telinga di daun pintu dengan tujuan dapat mendengar pertengkaran
mereka dengan lebih jelas. Tiba-tiba aku merasa aku sungguh tidak berperasaan,
sudah beberapa rumahtangga yang hancur karena kehadiranku, tapi tak pernah
sedikitpun aku merasa bersalah apalagi iba. Aku malah senang, aku berharap
kejadian ini dapat membuka mata para perempuan di luar sana bahwa dimanapun dan
bagaimanapun laki-laki, bejatnya tetap sama. Tidak ada laki-laki baik di dunia
ini. Mereka hanya baik di depan kita, namun di belakang kita mereka tak ubahnya
bagai singa yang selalu menancapkan cakar panjangnya di hati kita kemudian
mencabik-cabiknya hingga hancur tak bersisa. Laki-laki tidak pernah mencintai
wanita seperti wanita mencintai laki-laki. Laki-laki hanya tertarik pada fisik
dan hubungan seksual semata. Setelah mereka jenuh atau bosan mereka akan
mencampakan wanita yang telah setia menemaninya dan mencari wanita lain.
Aku terkejut dan melompat keluar kamar mandi ketika
kudengar suara botol yang pecah. Aku mungkin tidak iba melihat rumahtangga
mereka berada di ujung tanduk, namun aku tidak akan pernah bisa membiarkan
laki-laki itu bertindak kasar pada istrinya. Naluri wanitaku selalu muncul
ketika aku mencium adanya tindak kriminalitas yang dilakukan laki-laki terhadap
wanita. Aku tidak akan pernah terima kaum jahanam itu menyakiti kaumku; kaum
lembut yang penuh cinta kasih.
Dengan spontan aku berlari menuju laki-laki itu yang
tengah berdiri di depan istrinya sembari memegang botol pecah yang di arahkan
tepat ke leher si istri. Ku dorong tubuhnya dan kurebut botol itu dari
tangannya. Ia sangat terkejut melihat kehadiranku, terlihat jelas dari sorot
matanya Ia tak menyangka aku akan melakukan hal itu. Namun yang lebih terkejut
kemudian adalah aku. Saat kubalikan badan, yang ada di hadapanku adalah
perempuan yang ku kenal dengan sangat baik empat tahun yang lalu. Perempuan paling
lembut yang pernah kukenal, perempuan dengan hati paling mulia, perempuan yang
sempurna, perempuan yang kudambakan seumur hidupku, perempuan yang selalu
menghiasi mimpi-mimpiku, namun juga perempuan yang membuatku terjatuh ke dalam
jurang keterpurukan untuk kedua kalinya.
“Siska? Kamu Siska Wiryono kan? Kamu… kamu ngapain
disini? Kamu ngapain sama suami aku?” Suaranya yang begitu lembut membuyarkan
semua nostalgiaku. Aku kembali pada kenyataan bahwa aku telah menghancurkan
rumahtangganya dan menyaikiti hantinya. “Siska, kenapa kamu diam? Kamu masih
inget aku kan?” Aku masih tak kuasa untuk bersuara, aku tetap diam walaupun
sesungguhnya aku ingin sekali memeluknya, aku sungguh merindukannya.
“Oh jadi kamu kenal sama perek ini? Akhirnya kebuka
juga kedok kamu. Belaga jadi malaikat di depan keluarga tapi ternyata kamu
busuk. Temen kamu perek, berarti kamu juga ngga beda sama dia!” Kata-kata si
lelaki jahanam itu bagaikan mata pisau dan membuat aku sungguh meradang. Aku
tak kuasa lagi menahan emosiku, kudorong lelaki itu, kuhantamkan botol yang
kurebut darinya tepat ke kepala si lelaki jahanam itu. Ia terjatuh dan menjerit
kesakitan sembari memegangi kepalanya yang kini berlumuran darah.
Aya menjerit dan berteriak marah padaku, “Siska!!!
Kenapa kamu…..” belum sempat ia menyelesaikan ucapannya aku sudah menacapkan
botol itu ke perut suaminya. Aya pun kembali menjerit dan menariku untuk
menjauhi suaminya. “Bagaimanapun dia, dia tetap suamiku Siska! Kalau kamu mau
membunuhnya, bunuh aku juga!” Mendengar ucapanya, amarahku semakin memuncak, ku
dorong tubuhnya dan aku kembali mendekati suaminya.
“Suami macam ini yang kamu bela? Kamu rela mati demi
bangsat ini?!” kataku sembari menjambak lelaki itu. Aya hanya terdiam, ia sudah
cukup baik mengenalku, dia tahu bagaimana jika aku sedang emosi, dan dia tahu
aku bisa melakukan hal-hal nekat yang melintas di kepalaku. Ekspresi wajahnya
menunjukan ketakutan yang amat sangat, dan sorot matanya memohon agar aku
melepaskan suaminya. Namun, aku sudah tidak dapat menahan diri lagi,
kemarahanku telah menutup mataku.
Aku pun melanjutkan ocehanku, “Demi bangsat ini kamu
ninggalin aku, orang yang paling sayang sama kamu, orang yang rela ngelakuin
apa aja buat kamu. Demi dia kamu campakin aku, kamu ngga peduli gimana aku
bertahan hidup tanpa kamu, gimana gilanya aku waktu liat undangan kamu. Aku
cinta sama kamu, dan kamu tau itu! laki-laki ini laki-laki nggak tau diri, udah
dapetin perempuan sesempurna kamu masih main gila. Dia nggak ngehargain kamu,
aku tadi denger semuanya, aku denger bajingan ini sering mukulin kamu dan
nyiksa kamu. Terus apa yang kamu harepin dari dia, kenapa kamu masih belain
dia?”
“Demi anak dan keluargaku Sis…” ujarnya lemah. “Kamu
sudah cukup berkorban demi keluargamu Ay, udah saatnya kamu mikirin kebahagiaan
kamu sendiri. Anak kamu bisa tetep bahagia kok tanpa bajingan ini. Kita bisa
merawat anak kamu berdua Ay, aku bener-bener sayang sama kamu. Aku gila tanpa
kamu Ay, aku jadi begini karena aku putus asa, aku ngga bisa ngelupain kamu.
Aku ngerasa hidup aku hancur tanpa kamu, jadi sekalian aja aku jadi pelacur,
toh orang yang aku cintai juga udah pergi ninggalin aku demi laki-laki
bajingan. Please Ay, aku mau kamu, kita bisa memulai hidup baru di tempat baru,
di tempat ngga ada yang kenal kamu atau aku, di tempat dimana hubungan kita
bisa diterima, ditempat dimana kita bisa menyatukan cinta kita, Ay..”
“Maaf Sis, aku ngga bisa. Aku sudah berkeluarga dan
aku akan terus berusaha menjaga keutuhan keluargaku biar bagaimanapun
sakitnya.” Ujar Aya memupus harapanku. “Jadi, kamu tetep nolak aku Ay?!! Kamu
tetep milih dia?!” teriakku tepat dihadapan Aya yang kini berlutut dihapanku
dan suami bajingannya yang sekarat. “Ya, karena dia suamiku, dan dia ayah dari
anakku..” Satu kalimat dari bibir mungilnya yang kupuja setengah mati telah
membakar emosiku, tanpa pikir panjang kutancapkan botol dalam genggamanku tepat
di ulu hatinya, si bajingan itu menjerit meregang nyawa dan kemudian terkulai;
malaikat maut telah menjemputnya. “Sekarang kamu udah ngga punya suami, Ay..
suami kamu udah mati…”
Aya menjerit histeris dan mendorong tubuhku dengan
kuat, ia memeluk si bajingan itu dan menangis pilu. Aku bangkit dan meraih
tangannya, namun ia mendorongku kembali dan mengatakan hal yang tak pernah
kubayangkan akan keluar dari bibirnya. “Jangan sentuh aku pembunuh! Kamu pikir
aku cinta sama kamu? Aku normal, aku nggak punya kelainan seksual kayak kamu.
Aku muak sama kamu, aku jijik sama kamu! Kamu adalah makluh Tuhan yang paling
hina!” Kata-katanya menusuk begitu dalam, orang yang aku cintai selama ini mencaciku
dengan ucapan yang begitu tajam. Demi dia aku membunuh suaminya dengan harapan
aku dapat memilikinya setelah penghalang itu mati, namun ternyata ia malah
mencaciku. Untuk ketiga kalinya hatiku hancur, aku tak kuasa lagi menanggung
derita batin ini.
Aku berjalan gontai
menuju balkon, aku mulai memanjat balkon dan berseru pada Aya, “Aya, aku cinta
kamu selamanya…” Aya kembali menjerit histeris dan berlari ke arahku, namun
tekadku sudah bulat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar