Senin, 16 Mei 2016

***
Kemanakah aku harus melangkahkan kakiku? Dimanakah tempat yang paling aman untuk kusinggahi? Aku sungguh lelah berkelana mencari tempat yang tak kunjung kutemui itu. Aku terlalu rapuh, Tuhan. Aku tak sanggup dengan semua ini. Aku merasa aku akan mati kapan saja. Aku sungguh takut menghadapi semua ini. Ingin rasanya ku berlari hingga tak seorangpun yang akan menemukanku, namun sayang, semua orang seolah berkomplot untuk menyakitiku dan kembali membawaku ke rumah, oh bukan, itu bukanlah rumah, itu merupakan penjara yang selalu mengungkungku seumur hidupku.
            Ayahku yang sangat kasar, kedua kakak lelakiku yang selalu mengolok-oloku dan ibuku yang terlalu sabar sehingga membuat ayahku semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuat ibuku begitu menurut pada ayah, seolah untuk berbicara saja ia harus meminta ijin pada ayah. Ayah merupakan seorang purnawirawan yang tetap memegang teguh kedisiplinan meskipun ia sudah lama pensiun dari dunia militer. Ayah sepertinya masih belum siap untuk menjadi seorang purnawirawan dengan melepaskan segala kekuatan dan kekuasaan yang pernah ia miliki. Ia seperti orang yang tak bisa melepaskan diri dari apa yang pernah menjadi bagian dari dirinya, ia tidak mau mengakui bahwa semuanya sudah berlalu, bahwa segala yang ia banggakan dulu; jabatan, kekuasaan dan kewibawaanya telah hilang  seiring dengan datangnya masa pensiun. Aku selalu ingin berbicara pada ayah, namun ayah tidak pernah mau mendengarkanku, sepertinya merupakan hal yang terlarang baginya untuk mendengarkan ucapan seorang perempuan, seperti halnya aku dan ibuku.
            Di minggu pagi itu, seperti biasa ayah, ibu dan kedua kakak lelakiku keluar rumah untuk jogging sekitar pukul 05.45. Sebelum meninggalkan rumah ibuku menyempatkan diri menengokku di kamar, aku saat itu pura-pura masih tidur, kemudian ibu meninggalkan rumah dengan tidak lupa mengunci semua pintu, termasuk pintu kamarku seperti biasanya. Terdengar sayup suara ibuku berujar. “Kasian Dinda tidak pernah ikut kita olahraga seperti ini” yang kemudian disahut dengan nada tinggi oleh ayahku “Dia anak perempuan, kalau dibebaskan nanti malah tidak betah di rumah. Biarkan saja dia di rumah, jangan berikan dia kebebasan berlebihan nanti dia jadi anak yang lebih berontak lagi” Aku langsung mengelus dada mendengarnya, aku sungguh kecewa dengan sikap ayah dalam memperlakukanku. Kenapa aku harus dibedakan dengan kedua kakak lelakiku? Kenapa mereka boleh sekehendak hati pergi kemana mereka suka sementara aku tidak diperbolehkan kemana-mana, bahkan sekolah saja aku harus mengikuti home schooling yang membuatku tidak mempunyai teman sama sekali. Aku benar-benar merasa hidup dalam penjara, aku benar-benar kesepian, aku ingin seperti gadis-gadis lainnya yang bisa bebas berjalan-jalan dan mempunyai banyak teman. Kadang aku berpikir akankah aku hidup seperti ini selamanya? Akankah ada seseorang yang dapat membantuku keluar dari semua masalah ini? Dapatkah aku merasakan kebebasan sebagaimana orang lain? Begitu banyak pertanyaan yang menggantung dalam pikiranku.
            Aku yang sudah mempersiapkan ransel dibawah tempat tidurku seketika mengeluarkanya dan bersiap untuk keluar melalui jendela kamarku. Berlari kecil melewati kebun belakang, aku dipersulit lagi melewati pintu belakang yang terkunci, untung saja aku sudah mempersiapkan semuanya sehingga pintu belakang dapat dengan mudah kubuka. Aku berlari di sepanjang jalan dan berdoa agar aku tidak berpapasan dengan keluargaku. Hampir satu jam berjalan aku tiba di suatu taman yang cukup asri. Akupun duduk di sebuah bangku yang terletak di pojok taman yang tidak terlalu terekspose dimana aku berharap kehadiranku dalam balutan piyama tidak terlalu mencolok. Aku yang kehausan membuka tas bermaksud mengambil air minum dan bekal makanan yang kubawa, namun sial tak dapat ditepis, dalam tas yang kubawa berlari-lari tadi aku hanya menemukan kertas-kertas koran bekas dan tidak terdapat secuilpun makanan dan setetes pun air minum. Aku sungguh bingung, bagaimana bisa ini terjadi? Aku sudah mempersiapkan semuanya, aku bahkan sudah menghitungnya semalam, ada 3 botol air minum, ada 5 box biskuit, 2 bungkus permen dan juga beberapa lembar uang pecahan Rp. 100.000. Kemanakah semuanya menghilang? Kenapa semuanya tak ada? Apakah ini ulah usil kakakku lagi? Aku sudah sangat berhati- hati sekali, aku mempersiapkan semuanya saat malam sudah larut dengan tujuan agar tak ada yang tahu ataupun curiga. Ah, bisa saja aku teledor, saat aku mandi kemarin pagi misalnya, Bi Nah yang menyapu kamarku berniat menyapu kolong ranjang dan dia menemukan tas itu kemudian ia melaporkanya pada orangtuaku dan kemudian kakak-kakaku tahu yang akhirnya mereka berencana untuk mengerjaiku lagi dengan mengganti semua perbekalan itu dengan sampah koran seperti ini! Oh ya, pasti begitu. Kakak-kakaku sangat kejam padaku, mereka selalu memusuhiku, mereka selalu menjadikanku boneka mainan mereka yang dapat dengan seenaknya mereka mainkan. Mereka seringkali menyembunyikan barang-barangku dan bahkan membuangnya. Mereka juga tak segan melukaiku, menamparku, bahkan memuklku. Mereka tidak pernah menganggapku sebagai adik mereka, mereka tak pernah menyayangiku, mereka tak menginginkanku. Oh ibu.. andaikan Ibu tahu bagaimana jahatnya mereka terhadapku.
            Menyadari aku pergi dengan tidak berbekal apapun, aku pun mulai menangis dengan sejadi-jadinya. Aku benar-benar merasa sedih, aku tak tahu lagi aku harus bagaimana. Hingga akhirnya ada seorang pemuda yang menghampiriku dan menanyakan apakah aku baik-baik saja. Ingin sekali aku teriakan padanya tentu saja aku tidak baik-baik saja, tapi yang tetjadi aku hanya diam dan tak bisa berkata-kata. Ia begitu sabar menemaniku hingga aku merasa lebih baik dan mulai dapat menceritakan apa yang menimpaku. Ia sangat baik terhadapku, tidak ada seorangpun yang menatapku begitu dalam seperti yang ia lakukan, ia mendengarkan dengan seksama tanpa menyela sedikitpun hingga aku benar-benar merasa nyaman. Aku pun menceritakan semuanya; tentang keluargaku, tentang perlakuaan mereka dan juga tentang rencana kaburku yang sudah disabotase kakak-kakakku. Ia tidak seperti ibuku yang selalu bertele-tele dan panjang lebar menasehatiku saat aku menangis. Ia hanya tersenyum kemudian ia berkata. “Hidupmu sungguh berat, tapi aku yakin kamu mampu melaluinya. Kamu tidak akan berhasil hanya dengan berlari dari mereka. Mereka dapat menemukanmu kapan saja, dan mungkin mereka akan dapat melakukan yang lebih buruk lagi. Jadi, lebih baik kau pulang dan selesaikanlah masalahmu. Selesaikanlah hingga ke akar masalahnya; buat dirimu tak dapat ditemukan atau buat mereka tak dapat menemukanmu.” Sesaat setelah ia mengucapkannya, ia berangsur pergi tanpa mempedulikan aku yang masih bingung dengan maksud dari ucapanya.                    
            Setelah beberapa saat aku memikirkan perkataan pemuda itu, aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan menyelesaikan semuanya. Aku tak boleh menjadi pengecut, ayah selalu berkata demikian, jadi mulai detik ini aku memutuskan untuk menjadi seorang pemberani. Aku tak mau lagi dikucilkan oleh keluargaku lagi. Aku ingin menunjukan pada mereka bahwa aku bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Aku dengan sangat mudah dapat kembali ke kamar dan langsung berpura-pura tidur. Sesaat kemudian, ibuku memasuki kamarku dan membangunkanku. Ia menyuruhku untuk segera mandi dan makan siang bersama di ruang makan. Akupun bergegas mandi dan segera menuju ruang makan.
            Di ruang makan sudah duduk dengan rapinya ayah, ibu dan kedua kakakku. Aku duduk di sebelah ibuku, aku tertunduk dan tidak berani mengangkat kepalaku ketika ayah bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku hanya menjawab seadanya saja, aku benar-benar takut jika aku ketahuan telah kabur dari rumah. Ya, Tuhan. Sepertinya aku sudah tertangkap basah, aku sudah ketahuan! Kenapa aku baru sadar sekarang? Tidak biasanya kami makan bersama seperti ini, biasanya ibu akan mengantar makanan ke kamarku dan aku akan makan sendirian disana. Ya Tuhan, kenapa aku tidak menyadari keanehan ini sebelumnya? Sepertinya ayahku sudah tau dan ia sangat marah terhadapku sehingga ia sengaja mengajakku makan bersama untuk menghukumku. Aku hanya pasrah, aku benar-benar ingin menangis, tapi aku tahu jika aku menangis sekarang hanya akan semakin mempersulit keadaan, ayah sangat membenci jika anaknya menangis, dan pasti dia akan memakiku lagi dan mengataiku pengecut yang cengeng. Tidak, aku tidak ingin memperburuk keadaan.
            Ibu mulai mengambilkan makanan untuk ayah dan kakak-kakakku, namun anehnya saat tiba giliranku menyorongkan piring, ia malah mengacuhkanya. Ibu bangun dan mengambil piring yang sudah berisi makanan dari dapur dan kemudian memberikanya padaku. Aku sangat bingung dibuatnya, kenapa aku tidak diberikan makanan yang sama dengan yang lain? Aku kembali berfikir keras, jangan-jangan ini merupakan siasat mereka untuk menyingkirkanku. Masih dalam kekalutan yang begitu menghimpitku, ayahku terus mendesakku untuk makan yang semakin memperkuat dugaanku. Akupun bersikeras menolak makananku, aku mengatakan bahwa aku tidak lapar. Namun ayahku terus dan terus memaksaku hingga akhirnya aku tak kuasa lagi dan menumpahkan semua emosiku dengan menangis sejadi-jadinya. Seperti yang sudah kubayangkan, ayah naik pitam dan menggerbrak meja melihat aku yang sangat cengeng. Ibuku hanya terdiam, tak ada seorangpun yang membelaku. Ibuku hanya menyodorkan sebutir obat yang aku tak tahu obat apa yang tentu saja aku tolak; aku tak mau mengambil resiko dengan menenggak obat yang aku sendiri tak tahu untuk apa. Aku hanya takut jika obat itu adalah obat Euthanasia yang akan segera merenggut nyawaku. Namun, lagi-alagi ayahku kembali memaksaku untuk meminum obat itu. Aku benar-benar lelah, aku menyerah dan menelan obat itu. Aku kemudian lari dan berusaha memuntahkan obat yang barusan kutelan di kamarku. Aku mengganjal pintu kamar dengan kursi dan meja dan apa saja yang dapat aku gunakan.
            Benar saja, beberapa menit kemudian ibu berusaha membuka pintu namun tak bisa. Ia kemudian membujukku agar mau membuka pintu, namun aku bersikukuh untuk tak membukakan pintu. Keributan terjadi di luar kamar, aku mendengar sumpah serapah ayah dan kakak-kakakku yang terus berusaha mendobrak pintu. Aku yang ketakutan hanya bisa bersembunyi di bawah ranjang, berharap mereka tak akan menemukanku. Tak butuh waktu lama ayah dan kakak-kakakku berhasil mendobrak pintu dan masuk ke kamarku. Mereka memanggil-manggil namaku, begitu juga ibuku. Aku yang sudah benar-benar ketakutan, yang merasa sudah dekat dengan maut hanya dapat pasrah dan menutup rapat mata dan telinga lekat-lekat.
***
            Aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi, yang aku ingat aku membuka mata dengan keadaan tubuh yang penuh sakit. Aku masih menggunakan piyama yang kemarin aku kenakan. Aku melihat sekeliling, gelap dan sempit sekali. Aku mulai membiasakan mataku untuk melihat dalam gelap. Aku akhirnya menyadari dimana aku berada; di loteng yang biasa digunakan sebagai gudang. Ya Tuhan, kejam sekali mereka memperlakukan aku seperti ini? Akupun kembali menangis sejadi-jadinya. Hingga akhirnya aku teringat pemuda yang kemarin kutemui, dan kemudian aku membulatkan tekad untuk benar-benar mengakhiri semuanya.
            Aku menuruni loteng dengan sangat perlahan, aku tidak ingin membangunkan ayahku. Mula-mula aku ke kamar Bi Nah, kamarnya kosong, berarti dia sedang pergi ke pasar dengan ibu. Berarti inilah saat yang tepat untuk menyelesaikan misiku. Aku ke kamar kakakku satu persatu, kulihat mereka masih terlelap. Aku kemudian ke kamar ayahku, dan benar saja ibuku sudah tidak ada, hanya ayahku yang masih berbaring. Aku masuk perlahan dan mengambil kumpulan kunci yang tergantung di belakang pintu. Aku mulai dengan mengunci kamar ayahku, kemudian kamar kedua kakakku dan kemudian mengunci pintu depan. Aku mulai menuangkan bensin memutari rumahku dan kemudian melemparkan sisa bensin beserta botolnya ke atap dan mulai melemparkan korek api pertama ke atap. Korek api kedua aku lemparkan tepat di depan pintu yang langsung menyala dengan hebatnya. Aku merasa sangat bahagia melihat api yang terus menjilat-jilat. Aku juga sangat bahagia membayangkan ayah dan kakak-kakakku yang hangus terbakar dan tak akan bisa lagi mengangguku. Aku mulai membayangkan hidup yang jauh lebih indah; hidup hanya berdua dengan ibuku tanpa ada lagi orang-orang yang jahat seperti ayah dan kakak-kakakku.
            Hari sudah mulai terang saat orang-orang mulai berdatangan dan berusaha memadamkan api. Dari jauh aku melihat ibu dan Bi Nah, aku berlari dan memeluk ibu. Air mata bahagia menetes dari pipiku. Ibu terlihat begitu bingung melihat apa yang terjadi, aku pun mulai berceloteh seperti anak kecil yang baru saja selesai merangkai puzzle pertamanya, “Ibu, aku sangat bahagia, kita dapat memulai kehidupan baru kita tanpa ayah dan kakak. Kita akan hidup dengan tenang dan bahagia, Bu” Ibuku hanya terdiam, terpaku seolah pikiranya sedang mengembara ke tempat yang jauh. Setelah beberapa saat barulah ibu berkata sambil mengelus rambutku dengan sangat lembut, “Nak, Ibu minta maaf karena Ibu membiarkanmu seperti ini, Ibu terlalu sayang untuk membiarkanmu tinggal di tempat yang jauh untuk kesembuhanmu. Ibu yang salah, jika ibu tidak memaksa ayahmu untuk dapat merawatmu di rumah, semua ini tidak akan terjadi. Dan Nak, baik ayah dan kedua kakakmu, mereka sedang ada di sana, sedang membantu memadamkan api…” Ibu menunjuk ke satu titik dimana ada ayah dan kedua kakakku. Aku sungguh terkejut, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, “Tapi Bu, tadi mereka semua masih tidur dan aku mengunci semua pintu sebelum aku membakar rumah kita Bu” ujarku yang kemudian dibantah oleh ibu “Nak, Ibu, ayah, kedua kakakmu dan juga Bi Nah sudah meninggalkan rumah sejak dua jam yang lalu, dirumah tidak ada siapa-siapa selain kamu” Akupun menjadi sangat bingung, “Bu, sungguh aku tidak bohong, aku tadi melihat mereka di kamar Bu saat aku turun dari loteng” Ibuku menangis dan memelukku dan kemudian berkata, “ Sayang, rumah kita tidak ada loteng, lihatlah..” Spontan akupun melihat ke rumah yang sudah hampir habis terbakar dan memang tidak ada loteng! Jendela tempat tadi aku melihat jalan pun sudah menghilang entah kemana. Aku menjadi sangat bingung dan tiba-tiba sakit kepala yang begitu kuat menyerangku, pandanganku berputar, penglihatanku pun mulai kabur, dan akhirnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
***
            Aku tak tahu entah pagi, siang, atau malam saat aku terbangun di sebuah ranjang dengan ruangan yang sempit dan terali besi layaknya penjara. Aku sempat bertanya-tanya dimanakah aku berada, hingga akhirnya aku sadar aku berada di sebuah Camp Pengasingan. Oh Tuhan, bagaimana nasib ayahku? Bagaimana nasib adikku? Selama ini, setelah ibuku yang seorang tentara wafat, akulah yang menjaga mereka berdua, kini setelah aku tertangkap tentara lawan, siapa yang akan mengurus mereka? Aku harus menyusun rencana, aku harus menemukan ayah dan adikku, aku harus bisa keluar dari tempat sialan ini apapun konsekuensinya.
-THE END-
***


             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar