***
Kemanakah
aku harus melangkahkan kakiku? Dimanakah tempat yang paling aman untuk
kusinggahi? Aku sungguh lelah berkelana mencari tempat yang tak kunjung kutemui
itu. Aku terlalu rapuh, Tuhan. Aku tak sanggup dengan semua ini. Aku merasa aku
akan mati kapan saja. Aku sungguh takut menghadapi semua ini. Ingin rasanya ku berlari
hingga tak seorangpun yang akan menemukanku, namun sayang, semua orang seolah
berkomplot untuk menyakitiku dan kembali membawaku ke rumah, oh bukan, itu
bukanlah rumah, itu merupakan penjara yang selalu mengungkungku seumur hidupku.
Ayahku yang sangat kasar, kedua
kakak lelakiku yang selalu mengolok-oloku dan ibuku yang terlalu sabar sehingga
membuat ayahku semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuat ibuku begitu
menurut pada ayah, seolah untuk berbicara saja ia harus meminta ijin pada ayah.
Ayah merupakan seorang purnawirawan yang tetap memegang teguh kedisiplinan
meskipun ia sudah lama pensiun dari dunia militer. Ayah sepertinya masih belum
siap untuk menjadi seorang purnawirawan dengan melepaskan segala kekuatan dan
kekuasaan yang pernah ia miliki. Ia seperti orang yang tak bisa melepaskan diri
dari apa yang pernah menjadi bagian dari dirinya, ia tidak mau mengakui bahwa
semuanya sudah berlalu, bahwa segala yang ia banggakan dulu; jabatan, kekuasaan
dan kewibawaanya telah hilang seiring
dengan datangnya masa pensiun. Aku selalu ingin berbicara pada ayah, namun ayah
tidak pernah mau mendengarkanku, sepertinya merupakan hal yang terlarang
baginya untuk mendengarkan ucapan seorang perempuan, seperti halnya aku dan
ibuku.
Di minggu pagi itu, seperti biasa
ayah, ibu dan kedua kakak lelakiku keluar rumah untuk jogging sekitar pukul
05.45. Sebelum meninggalkan rumah ibuku menyempatkan diri menengokku di kamar,
aku saat itu pura-pura masih tidur, kemudian ibu meninggalkan rumah dengan
tidak lupa mengunci semua pintu, termasuk pintu kamarku seperti biasanya.
Terdengar sayup suara ibuku berujar. “Kasian Dinda tidak pernah ikut kita
olahraga seperti ini” yang kemudian disahut dengan nada tinggi oleh ayahku “Dia
anak perempuan, kalau dibebaskan nanti malah tidak betah di rumah. Biarkan saja
dia di rumah, jangan berikan dia kebebasan berlebihan nanti dia jadi anak yang
lebih berontak lagi” Aku langsung mengelus dada mendengarnya, aku sungguh
kecewa dengan sikap ayah dalam memperlakukanku. Kenapa aku harus dibedakan
dengan kedua kakak lelakiku? Kenapa mereka boleh sekehendak hati pergi kemana
mereka suka sementara aku tidak diperbolehkan kemana-mana, bahkan sekolah saja
aku harus mengikuti home schooling yang membuatku tidak mempunyai teman sama
sekali. Aku benar-benar merasa hidup dalam penjara, aku benar-benar kesepian,
aku ingin seperti gadis-gadis lainnya yang bisa bebas berjalan-jalan dan
mempunyai banyak teman. Kadang aku berpikir akankah aku hidup seperti ini
selamanya? Akankah ada seseorang yang dapat membantuku keluar dari semua
masalah ini? Dapatkah aku merasakan kebebasan sebagaimana orang lain? Begitu
banyak pertanyaan yang menggantung dalam pikiranku.
Aku yang sudah mempersiapkan ransel
dibawah tempat tidurku seketika mengeluarkanya dan bersiap untuk keluar melalui
jendela kamarku. Berlari kecil melewati kebun belakang, aku dipersulit lagi
melewati pintu belakang yang terkunci, untung saja aku sudah mempersiapkan
semuanya sehingga pintu belakang dapat dengan mudah kubuka. Aku berlari di
sepanjang jalan dan berdoa agar aku tidak berpapasan dengan keluargaku. Hampir
satu jam berjalan aku tiba di suatu taman yang cukup asri. Akupun duduk di
sebuah bangku yang terletak di pojok taman yang tidak terlalu terekspose dimana
aku berharap kehadiranku dalam balutan piyama tidak terlalu mencolok. Aku yang
kehausan membuka tas bermaksud mengambil air minum dan bekal makanan yang
kubawa, namun sial tak dapat ditepis, dalam tas yang kubawa berlari-lari tadi
aku hanya menemukan kertas-kertas koran bekas dan tidak terdapat secuilpun
makanan dan setetes pun air minum. Aku sungguh bingung, bagaimana bisa ini
terjadi? Aku sudah mempersiapkan semuanya, aku bahkan sudah menghitungnya
semalam, ada 3 botol air minum, ada 5 box biskuit, 2 bungkus permen dan juga
beberapa lembar uang pecahan Rp. 100.000. Kemanakah semuanya menghilang? Kenapa
semuanya tak ada? Apakah ini ulah usil kakakku lagi? Aku sudah sangat berhati-
hati sekali, aku mempersiapkan semuanya saat malam sudah larut dengan tujuan
agar tak ada yang tahu ataupun curiga. Ah, bisa saja aku teledor, saat aku
mandi kemarin pagi misalnya, Bi Nah yang menyapu kamarku berniat menyapu kolong
ranjang dan dia menemukan tas itu kemudian ia melaporkanya pada orangtuaku dan
kemudian kakak-kakaku tahu yang akhirnya mereka berencana untuk mengerjaiku
lagi dengan mengganti semua perbekalan itu dengan sampah koran seperti ini! Oh
ya, pasti begitu. Kakak-kakaku sangat kejam padaku, mereka selalu memusuhiku,
mereka selalu menjadikanku boneka mainan mereka yang dapat dengan seenaknya
mereka mainkan. Mereka seringkali menyembunyikan barang-barangku dan bahkan
membuangnya. Mereka juga tak segan melukaiku, menamparku, bahkan memuklku. Mereka
tidak pernah menganggapku sebagai adik mereka, mereka tak pernah menyayangiku,
mereka tak menginginkanku. Oh ibu.. andaikan Ibu tahu bagaimana jahatnya mereka
terhadapku.
Menyadari aku pergi dengan tidak
berbekal apapun, aku pun mulai menangis dengan sejadi-jadinya. Aku benar-benar
merasa sedih, aku tak tahu lagi aku harus bagaimana. Hingga akhirnya ada
seorang pemuda yang menghampiriku dan menanyakan apakah aku baik-baik saja.
Ingin sekali aku teriakan padanya tentu saja aku tidak baik-baik saja, tapi
yang tetjadi aku hanya diam dan tak bisa berkata-kata. Ia begitu sabar
menemaniku hingga aku merasa lebih baik dan mulai dapat menceritakan apa yang
menimpaku. Ia sangat baik terhadapku, tidak ada seorangpun yang menatapku
begitu dalam seperti yang ia lakukan, ia mendengarkan dengan seksama tanpa
menyela sedikitpun hingga aku benar-benar merasa nyaman. Aku pun menceritakan
semuanya; tentang keluargaku, tentang perlakuaan mereka dan juga tentang
rencana kaburku yang sudah disabotase kakak-kakakku. Ia tidak seperti ibuku
yang selalu bertele-tele dan panjang lebar menasehatiku saat aku menangis. Ia
hanya tersenyum kemudian ia berkata. “Hidupmu sungguh berat, tapi aku yakin
kamu mampu melaluinya. Kamu tidak akan berhasil hanya dengan berlari dari
mereka. Mereka dapat menemukanmu kapan saja, dan mungkin mereka akan dapat
melakukan yang lebih buruk lagi. Jadi, lebih baik kau pulang dan selesaikanlah
masalahmu. Selesaikanlah hingga ke akar masalahnya; buat dirimu tak dapat
ditemukan atau buat mereka tak dapat menemukanmu.” Sesaat setelah ia mengucapkannya,
ia berangsur pergi tanpa mempedulikan aku yang masih bingung dengan maksud dari
ucapanya.
Setelah beberapa saat aku memikirkan
perkataan pemuda itu, aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan
menyelesaikan semuanya. Aku tak boleh menjadi pengecut, ayah selalu berkata
demikian, jadi mulai detik ini aku memutuskan untuk menjadi seorang pemberani.
Aku tak mau lagi dikucilkan oleh keluargaku lagi. Aku ingin menunjukan pada
mereka bahwa aku bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Aku dengan sangat
mudah dapat kembali ke kamar dan langsung berpura-pura tidur. Sesaat kemudian,
ibuku memasuki kamarku dan membangunkanku. Ia menyuruhku untuk segera mandi dan
makan siang bersama di ruang makan. Akupun bergegas mandi dan segera menuju
ruang makan.
Di ruang makan sudah duduk dengan
rapinya ayah, ibu dan kedua kakakku. Aku duduk di sebelah ibuku, aku tertunduk
dan tidak berani mengangkat kepalaku ketika ayah bertanya apakah aku baik-baik
saja. Aku hanya menjawab seadanya saja, aku benar-benar takut jika aku ketahuan
telah kabur dari rumah. Ya, Tuhan. Sepertinya aku sudah tertangkap basah, aku
sudah ketahuan! Kenapa aku baru sadar sekarang? Tidak biasanya kami makan
bersama seperti ini, biasanya ibu akan mengantar makanan ke kamarku dan aku
akan makan sendirian disana. Ya Tuhan, kenapa aku tidak menyadari keanehan ini
sebelumnya? Sepertinya ayahku sudah tau dan ia sangat marah terhadapku sehingga
ia sengaja mengajakku makan bersama untuk menghukumku. Aku hanya pasrah, aku
benar-benar ingin menangis, tapi aku tahu jika aku menangis sekarang hanya akan
semakin mempersulit keadaan, ayah sangat membenci jika anaknya menangis, dan
pasti dia akan memakiku lagi dan mengataiku pengecut yang cengeng. Tidak, aku
tidak ingin memperburuk keadaan.
Ibu mulai mengambilkan makanan untuk
ayah dan kakak-kakakku, namun anehnya saat tiba giliranku menyorongkan piring,
ia malah mengacuhkanya. Ibu bangun dan mengambil piring yang sudah berisi
makanan dari dapur dan kemudian memberikanya padaku. Aku sangat bingung
dibuatnya, kenapa aku tidak diberikan makanan yang sama dengan yang lain? Aku
kembali berfikir keras, jangan-jangan ini merupakan siasat mereka untuk
menyingkirkanku. Masih dalam kekalutan yang begitu menghimpitku, ayahku terus
mendesakku untuk makan yang semakin memperkuat dugaanku. Akupun bersikeras
menolak makananku, aku mengatakan bahwa aku tidak lapar. Namun ayahku terus dan
terus memaksaku hingga akhirnya aku tak kuasa lagi dan menumpahkan semua
emosiku dengan menangis sejadi-jadinya. Seperti yang sudah kubayangkan, ayah
naik pitam dan menggerbrak meja melihat aku yang sangat cengeng. Ibuku hanya
terdiam, tak ada seorangpun yang membelaku. Ibuku hanya menyodorkan sebutir
obat yang aku tak tahu obat apa yang tentu saja aku tolak; aku tak mau
mengambil resiko dengan menenggak obat yang aku sendiri tak tahu untuk apa. Aku
hanya takut jika obat itu adalah obat Euthanasia yang akan segera merenggut
nyawaku. Namun, lagi-alagi ayahku kembali memaksaku untuk meminum obat itu. Aku
benar-benar lelah, aku menyerah dan menelan obat itu. Aku kemudian lari dan berusaha
memuntahkan obat yang barusan kutelan di kamarku. Aku mengganjal pintu kamar
dengan kursi dan meja dan apa saja yang dapat aku gunakan.
Benar saja, beberapa menit kemudian
ibu berusaha membuka pintu namun tak bisa. Ia kemudian membujukku agar mau
membuka pintu, namun aku bersikukuh untuk tak membukakan pintu. Keributan
terjadi di luar kamar, aku mendengar sumpah serapah ayah dan kakak-kakakku yang
terus berusaha mendobrak pintu. Aku yang ketakutan hanya bisa bersembunyi di
bawah ranjang, berharap mereka tak akan menemukanku. Tak butuh waktu lama ayah
dan kakak-kakakku berhasil mendobrak pintu dan masuk ke kamarku. Mereka
memanggil-manggil namaku, begitu juga ibuku. Aku yang sudah benar-benar
ketakutan, yang merasa sudah dekat dengan maut hanya dapat pasrah dan menutup
rapat mata dan telinga lekat-lekat.
***
Aku tak tahu apa yang selanjutnya
terjadi, yang aku ingat aku membuka mata dengan keadaan tubuh yang penuh sakit.
Aku masih menggunakan piyama yang kemarin aku kenakan. Aku melihat sekeliling,
gelap dan sempit sekali. Aku mulai membiasakan mataku untuk melihat dalam
gelap. Aku akhirnya menyadari dimana aku berada; di loteng yang biasa digunakan
sebagai gudang. Ya Tuhan, kejam sekali mereka memperlakukan aku seperti ini?
Akupun kembali menangis sejadi-jadinya. Hingga akhirnya aku teringat pemuda
yang kemarin kutemui, dan kemudian aku membulatkan tekad untuk benar-benar
mengakhiri semuanya.
Aku menuruni loteng dengan sangat
perlahan, aku tidak ingin membangunkan ayahku. Mula-mula aku ke kamar Bi Nah,
kamarnya kosong, berarti dia sedang pergi ke pasar dengan ibu. Berarti inilah
saat yang tepat untuk menyelesaikan misiku. Aku ke kamar kakakku satu persatu, kulihat
mereka masih terlelap. Aku kemudian ke kamar ayahku, dan benar saja ibuku sudah
tidak ada, hanya ayahku yang masih berbaring. Aku masuk perlahan dan mengambil
kumpulan kunci yang tergantung di belakang pintu. Aku mulai dengan mengunci
kamar ayahku, kemudian kamar kedua kakakku dan kemudian mengunci pintu depan.
Aku mulai menuangkan bensin memutari rumahku dan kemudian melemparkan sisa
bensin beserta botolnya ke atap dan mulai melemparkan korek api pertama ke
atap. Korek api kedua aku lemparkan tepat di depan pintu yang langsung menyala
dengan hebatnya. Aku merasa sangat bahagia melihat api yang terus
menjilat-jilat. Aku juga sangat bahagia membayangkan ayah dan kakak-kakakku
yang hangus terbakar dan tak akan bisa lagi mengangguku. Aku mulai membayangkan
hidup yang jauh lebih indah; hidup hanya berdua dengan ibuku tanpa ada lagi
orang-orang yang jahat seperti ayah dan kakak-kakakku.
Hari sudah mulai terang saat
orang-orang mulai berdatangan dan berusaha memadamkan api. Dari jauh aku
melihat ibu dan Bi Nah, aku berlari dan memeluk ibu. Air mata bahagia menetes
dari pipiku. Ibu terlihat begitu bingung melihat apa yang terjadi, aku pun
mulai berceloteh seperti anak kecil yang baru saja selesai merangkai puzzle
pertamanya, “Ibu, aku sangat bahagia, kita dapat memulai kehidupan baru kita
tanpa ayah dan kakak. Kita akan hidup dengan tenang dan bahagia, Bu” Ibuku
hanya terdiam, terpaku seolah pikiranya sedang mengembara ke tempat yang jauh.
Setelah beberapa saat barulah ibu berkata sambil mengelus rambutku dengan
sangat lembut, “Nak, Ibu minta maaf karena Ibu membiarkanmu seperti ini, Ibu
terlalu sayang untuk membiarkanmu tinggal di tempat yang jauh untuk
kesembuhanmu. Ibu yang salah, jika ibu tidak memaksa ayahmu untuk dapat
merawatmu di rumah, semua ini tidak akan terjadi. Dan Nak, baik ayah dan kedua
kakakmu, mereka sedang ada di sana, sedang membantu memadamkan api…” Ibu
menunjuk ke satu titik dimana ada ayah dan kedua kakakku. Aku sungguh terkejut,
aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, “Tapi Bu, tadi mereka semua masih
tidur dan aku mengunci semua pintu sebelum aku membakar rumah kita Bu” ujarku
yang kemudian dibantah oleh ibu “Nak, Ibu, ayah, kedua kakakmu dan juga Bi Nah
sudah meninggalkan rumah sejak dua jam yang lalu, dirumah tidak ada siapa-siapa
selain kamu” Akupun menjadi sangat bingung, “Bu, sungguh aku tidak bohong, aku
tadi melihat mereka di kamar Bu saat aku turun dari loteng” Ibuku menangis dan
memelukku dan kemudian berkata, “ Sayang, rumah kita tidak ada loteng,
lihatlah..” Spontan akupun melihat ke rumah yang sudah hampir habis terbakar
dan memang tidak ada loteng! Jendela tempat tadi aku melihat jalan pun sudah
menghilang entah kemana. Aku menjadi sangat bingung dan tiba-tiba sakit kepala
yang begitu kuat menyerangku, pandanganku berputar, penglihatanku pun mulai
kabur, dan akhirnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
***
Aku tak tahu entah pagi, siang, atau
malam saat aku terbangun di sebuah ranjang dengan ruangan yang sempit dan
terali besi layaknya penjara. Aku sempat bertanya-tanya dimanakah aku berada,
hingga akhirnya aku sadar aku berada di sebuah Camp Pengasingan. Oh Tuhan,
bagaimana nasib ayahku? Bagaimana nasib adikku? Selama ini, setelah ibuku yang
seorang tentara wafat, akulah yang menjaga mereka berdua, kini setelah aku
tertangkap tentara lawan, siapa yang akan mengurus mereka? Aku harus menyusun
rencana, aku harus menemukan ayah dan adikku, aku harus bisa keluar dari tempat
sialan ini apapun konsekuensinya.
-THE
END-
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar